Rabu, 03 Juni 2020

JERITAN KALBU

Saat terkuak dalam sanubari
Tetiba menjerit kalbu ini
Meraung lantang menyiksa
Berharap berakhir tanpa sia

Kurekatkan tengadah ini
Meraih bantuan dari Ilahi
Namun nyatanya noda hitam masih mengepul
Tak ingin berpisah selalu mengumpul

Nyatanya hidup tak selaras dengan asa
Selalu jadi kuncup penuh putus asa
Noda hitam mencekam bertuliskan dosa
Masih jadi hiasan yang dianggap biasa

Tingkah raga ini tak selalu lurus
Goyangan nafsu selalu berhembus
Titikan air pelupuk mata hanya kiasan
Seakan-akan ingin berbohong pada Tuhan

Perjalanan raga sangatlah panjang
Begitupun tak hentinya kelakuan terlarang
Hari demi hari sulit dijalani
Sebab hayat jauh dari Tuhan kini

Ulfah Aini
Purwokerto, 4 Februari 2019

SEPARUH KALBU

Seuntai perjalanan terhampar luas
Langkah demi langkah terlepas
Cita hidup di masa penuh rahasia
Kan jadi tolak ukur jalan berirama

Dinginnya malam penuh syahdu
Kutumpahkan berteman secangkir susu
Rasa yang menjerit dalam rongga
Kutahan sesak dalam dada

Secercah asa itu kian membara
Sebagai peredam pelipur lara
Namun masih saja kerikil hitam menukik
Coba menusuk dalam hati membidik

Kutanya pada kalbu sendu
Apakah kau patahan itu?
Terekam secuil memori bersamamu
Ketika kau datang melepas rindu

Terlalu dramatis memang kiranya
Hal yang tabu ternyata bisa nyata
Kini kalbu dalam jiwa ini
Semoga terus abadi menghuni

Ulfah Aini
Purbalingga, 30 Januari 2019

Sabtu, 30 Mei 2020

KELABU

Kau tegakkan raga sekuat tenaga
Kau tancapkan bara asa yang menelusup dalam rongga
Hati meradang, otak mengikis, kaki tanganpun menjerit
Meminta kepastian asa yang begitu rumit

Entah, asa itu datang berlalu lalang
Namun secepat kilat pergi menghilang
Dasar nasib jelek si pemuda pincang
Kaki tersayat tetap saja malang

Pelita Tuhan tak sempat kau rebut
Berkeliling meminta-minta secara urut
Dasar nasib jelek si pemuda jalanan
Tak bisa makan kau dustakan nikmat Tuhan

Asa tak sempat kau gapai
Pendidikan utama kau abai
Raga yang kau banggakan usai
Kini hanya tersisa rumbai-rumbai

Hayat sejati kau ubah menjadi kelabu
Ruang ekspresi kau tutup dengan topeng lusuhmu
Kau buat kelabu baju barumu
Tengadah tangan di setiap celah kaca pintu

Seruanmu tak lagi diragukan
Pandangan mata iba selalu jadi penantian
Terlalu harmonis jika semesta mengizinkan
Namun nyatanya hidupmu kelabu tanpa nyaman

Ulfah Aini
Purbalingga, 28 Januari 2019


Kamis, 12 Oktober 2017

Senyuman di Ujung Senja

         Secarik foto itu masih terpampang jelas ketika aku membuka Al-Qur’an hitam bermerek “Cordova” bergantungan “Hail to the Nature XII IPA” milikku. Foto itu kembali mengingatkanku pada kejadian 13 Juni 2015 lalu, saat aku harus menerima sebuah takdir yang sulit kucerna. Seseorang yang kusayangi telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya. Aku merasa saat itu duniaku seperti terjungkirbalik.
     Pagi itu mentari masih bersahabat denganku. Aku masih berjingkrak ria dengan kawan dan adik kelasku dengan jimbas, istilah arab dari senam. Setelah rasa lelah yang menggelayuti tubuhku, aku putuskan untuk tidur sejenak, menepis kelelahan. Tiba-tiba, terasa sentuhan tangan membangunkanku. Aku pun kaget. Ternyata itu Fina, temanku.
            “Fah, bangun. Kamu dipanggil ustadzah sekarang.” cetus Fina yang berkantung mata besar.
            “Iya, makasih ya, Fin.” ucapku seraya bergegas menuju kamar ustadzah di lantai 2.
            “Assalamu’alaikum, ustadzah. Ustadzah memanggil saya?” tanyaku sembari bertatap muka dengan Ustadzah Latifah.
            “Wa’alaikumussalam. Iya, Ulfah. Begini, tadi ibumu telfon, mengabarkan bahwa bapakmu dalam keadaan sakit. Jadi kamu harus pulang sekarang. Nanti, beberapa ustadz dan ustadzah akan ikut menjenguk ke Purbalingga.” jawab ustadzah.
            Mataku mulai terbelalak, air matapun tak bisa kubendungi, memaksaku untuk mengeluarkannya. Sempat terbesit tanya dalam pikiranku, “Sejak kapan bapak sakit-sakitan?”
            Aku pun menuruni tangga dengan perasaan bingung dan gelisah. Di depan kamarku yaitu kamar pengurus atau OPPMA sebutannya, tampak ketiga temanku menyapaku dan bertanya sebab sembabnya mataku.
            “Hei Ulfah, kamu kenapa? Gak biasanya matamu sembab gitu.” ledek Hana.
            “Aku takut, khawatir, bingung, gelisah. Pokoknya campur aduk perasaanku sekarang.” ketusku menjawab ledekan Hana.
            “Kenapa? Kenapa, Fah?” tanya Fina dengan kepo-nya.
            “Bapakku….” untuk kesekian kalinya air mataku menetes lagi.
            “Kenapa bapakmu?” rasa penasaran Fina bertambah.
            “Kata ustadzah bapakku sakit, lalu sekarang aku harus pulang. Tapi anehnya kenapa ustadz dan ustadzah juga ikut mengantarku? Kenapa juga harus dengan mobil pondok? Aku kan bisa pulang sendiri naik bus. Ini yang membuat pikiranku semakin runyam.” ucapku dengan nada sesenggukan karena tangisanku yang tak dapat kubendung lagi.
            Tiba-tiba Yuni, temanku, menyela, “Hah? Nakutin banget tuh. Jangan-jangan….”
            “Husttt… jangan begitu, Yun.” tegur Fina.
            “Udah, Fah. Sekarang positive thinking aja. Mungkin ada penyakit bapakmu yang belum kamu ketahui sampai mengharuskan kamu untuk pulang.” ucap Hana menenangkanku.
            “Tapi, bapak….” belum sampai aku meneruskan kata-kataku, muncul ustadzah yang memintaku untuk segera bersiap-siap.
            Sebelum berangkat, partnerku, Elsa, membantuku mengemasi beberapa baju untuk dibawa pulang ke rumah. Setelah semua selesai dikemas, aku beranjak menuju parkiran mobil sembari menunggu ustadz dan ustadzah yang masih bersiap-siap. Di dekatku terdengar suara,
            “Memang meninggalnya jam berapa mba?” hatiku mulai gelisah tak karuan, tapi aku mencoba selalu bepikir positif seperti yang dibilang Hana tadi di asrama.
            Perjalanan dari Temanggung menuju Purbalingga membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Tetapi, karena terjebak kemacetan, membuat perjalanan semakin lambat. Akhirnya, kami transit di sebuah rumah makan masakan padang di Kledung, Wonosobo. Hatiku mulai tenang, entah kenapa porsi makanku tidak seperti biasanya, bisa dikatakan sangat banyak.
            Saat mendengar percakapan ustadz dan ustadzah di dalam mobil, aku mulai terhibur, bisa tertawa, melupakan kesedihanku. Tetapi, saat lagu tentang ayah diputar berkali-kali, aku pun teringat kembali dengan sosok ayah. Apalagi setelah mobil beberapa kali melewati pemakaman, aku selalu membayangkan yang tidak-tidak. Untung aku duduk di kursi tengah pinggir kanan, sebelahku Ustadzah Ramini, Ustadzah Latifah, dan Ustadzah Arti. Bangku depan diisi oleh Ustadz Wardhani dan Ustadz Fadlil sebagai pengemudi. Sedangkan di belakang terisi Ustadz Naufal yang duduk menyendiri.
            Terdengar suara handphone milik Ustadzah Ramini.
            “Iya, Pak. Ini kami sudah sampai di Banjarnegara. Tadi sempat terjebak kemacetan di Pasar Kretek Wonosobo.”
            Hatiku semakin tak menentu. Rasa khawatir dan takut bercampur menjadi satu. Pikiranku semakin menjadi-menjadi, entah kemana arahnya. Sekilas tampak bayangan bapak menghampiriku dan tersenyum, kemudian pergi meninggalkanku dengan lambaian tangannya.
***
            Mobil melaju melewati plang besar bertuliskan “Kabupaten Purbalingga”, setelah sekian lama merasa penat karena perjalanan yang terbilang lumayan jauh ini, akhirnya aku bisa berjumpa kembali dengan cakrawala nan permai ini, Purbalingga Perwira, kota yang menjadi saksi sejarah kelahiranku 17 tahun silam.
            Setir mobil masih dikemudikan sesuai arahanku, karena akulah tour guide dalam perjalanan mulai dari saat kami menjumpai plang perbatasan Banjarnegara-Purbalingga hingga akhirnya sampai di rumahku.
            Dag…dig…dig…jantungku berdegup sangat kencang, tidak seperti biasanya. Tampak deretan mobil dan motor memenuhi pinggir jalan depan gang rumahku. Tubuhku mendadak lemas ketika kuterka bendera putih tertancap di depan gang rumahku. Pikiranku melayang entah kemana. Sontak kubuka pintu mobil dengan hati gelisah bercampur aduk. Kulihat om dan kakak iparku berlari mengarah ke mobil yang kutunggangi untuk menjemputku. Seketika wajahku pucat pasi dan lemas tak berdaya.
            “Mas, bapak kenapa?” tangisku tak tertahankan.
            “Udah, Fah. Sabar ya. Jangan nangis, kasihan bapak. Bapak udah tenang disana.” ucap Mas Tekad menenangkanku sembari menuntunku berjalan menuju rumah.
            “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un…Ya Allah, semoga khusnul khotimah.” ucapku sesenggukan.
            Dalam perjalanan menuju rumah, tampak banyak orang yang berdatangan, termasuk teman-temanku semasa SMP. Mulutku berucap tahlil tiada henti sampai akhirnya aku berjumpa dengan ibu dan kakak perempuanku. Tubuhku tak luput dari pelukan ibu dan kakak perempuanku.
            “Ya Allah, Bu…Bapak…Astaghfirullahal’adzim.”
            “Sabar ya, sayang. Bapak udah tenang disana, In Sya Allah. Jangan nangis, nanti bapak malah sedih. Ulfah harus kuat dan tegar ya, inilah takdir yang udah digariskan oleh Allah.” Sahut ibu dengan air matanya yang tertahan karena tak ingin terlihat sedih.
            “Bu, aku pengin nyolatin bapak. Aku wudlu dulu ya.” Ibu memandangku dan menghapus air mataku. Beliau menganggukan kepalanya, tanda mempersilahkanku.
            Suasana begitu haru ketika aku sholat di depan jenazah beliau, semua orang mengelilingiku. Begitupun ketika aku selesai sholat, teman-teman dekatku saat SMP menghampiri.
            “Ulfah sayang, semua takdir Allah pasti baik. Sabar ya, bapakmu baik-baik saja disana. Pasti ada hikmah di balik ini semua. Banyakin do’a untuk beliau.” kata Nindi.
            “Iya, Fah. Kita selalu ada di sampingmu kok buat support kamu. Semangat terus ya.” hibur Erin.
            Aku pun hanya tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Aku berpikir tak sia-sia aku mempunyai sahabat seperti mereka yang selalu ada dalam suka maupun duka, seperti saat sekarang ini.
            Jenazah bapak dibawa menuju pelataran rumah. Tampak banyak orang sudah berkerumun menunggu upacara pemakaman. Sepatah kata dilontarkan oleh ketua ta’mir Masjid Agung Darussalaam Purbalingga karena saat itu bapak masih menjabat sebagai wakil ketua ta’mir Masjid Agung. Kulihat para ‘alim ulama’ juga berada di kerumunan itu.
            Sebelum meninggal dunia, bapak terkenal sebagai tokoh agama dan guru yang kritis. Beliau mengisi pengajian ba’da maghrib pada malam Ahad di Masjid Agung. Tak hanya disitu, setiap harinya waktunya dipadati dengan mengisi pengajian di beberapa masjid. Beliau pun mengajar di SMP Negeri 1 Kemangkon sebagai guru PAI (Pendidikan Agama Islam) dan ketika itu beliau masih menjabat sebagai ketua MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) PAI Kabupaten Purbalingga, jadi tidak heran jika beliau disegani dan banyak yang melayat ketika beliau wafat.
            Jenazah dikebumikan di TPU Arsantaka tepat di belakang rumahku. Jadi, setiap saat aku bisa melihat makam beliau ketika rindu datang dengan tiba-tiba. Tetapi kali ini aku tak bisa mengikuti prosesi pemakaman beliau dikarenakan dua hal yang masih menjadi tanggungjawabku, yaitu karena aku belum menunaikan sholat ashar dan belum kutemui ustadz dan ustadzah.”
            “Ibu, nanti kalua ada ustadz dan ustadzah, bilang suruh nunggu Ulfah sebentar ya. Aku mau sholat ashar dulu.” ucapku pada ibu yang ketika itu sedang berbincang-bincang dengan beberapa tamu.
            “Iya, Nak. Udah sana, dah jam setengah lima, udah telat banget, ayo.” sahut ibu dengan raut muka yang masih menyimpan kesedihannya.
            Ketika aku selesai sholat, ternyata ustadz dan ustadzah menungguku bersama ibu di ruang tamu.
            “Mohon maaf, Ibu. Sebelumnya, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kami selaku perwakilan dari PM Assalaam Temanggung turut berbela sungkawa atas meninggalnya bapak dari Ananda Ulfah. Semoga diterima amal perbuatannya dan khusnul khotimah. Kami berharap Ananda Ulfah dapat melanjutkan kembali sekolah di Assalaam.” jelas Ustadz Wardhani.
            “Saya berterimakasih sekali sudah mengantarkan anak saya ini pulang ke rumah. In Syaa Allah anak saya masih bersekolah di sana. Aamiin.” jawab ibu dengan tenang.
            Perbincangan yang lama telah usai, kini ustadz dan ustadzah berpamitan untuk kembali ke pondok, karena keesokan harinya akan ada agenda rihlah dari OPPMA (Organisasi Pelajar Pondok Modern Assalaam) angkatanku, termasuk aku di dalamnya sebagai salah satu panitianya. Lubuk hati paling dalamku seakan mengadu bahwa ada sedikit rasa penyesalan karena aku tidak bisa mengikuti agenda rihlah itu. Akan tetapi, aku tidak dapat menyalahi takdir yang sulit kuterima ini.
***
            Sejujurnya, aku belum tahu bagaimana dan sebab meninggalnya bapak. Lalu, aku tanyakan hal ini pada kakak perempuanku.
            “Mba, bapak meninggalnya kenapa?” tanyaku pada Mba Neni yang tengah duduk santai di teras rumah.
            “Gini, kamu tahu kan kalau bapak itu nggak punya riwayat penyakit dalam?” jawab Mba Neni.
            “Iya, Mba, terus kenapa?” tanyaku penasaran.
            “Bapak memang nggak sakit, beliau hanya pusing saja. Saat sholat subuh, beliau masih jadi imam di mushola, masih sarapan berdua sama ibu. Ketika beliau mau berangkat ke sekolah, tiba-tiba beliau merasa pusing, lalu dipijat ibu sampai bapak tertidur. Setelah kira-kira satu jam berlalu, ibu membangunkan bapak, tapi beliau tidak terbangun. Ibu yang biasa menangani orang sakaratul maut akhirnya memeriksa denyut jantung dan nafas bapak. Masih terasa semua. Akhirnya ibu memanggil Mas Anto tetangga kita untuk membawa bapak ke rumah sakit. Di sana bapak masih belum sadar. Tetapi, ketika ibu keluar dari ruangan bapak untuk menghubungi mba dan Mas Awal, bapak telah tiada. Kata Mas Anto, ketika bapak menghembuskan nafas terakhirnya beliau sempat tersenyum sebanyak dua kali dan wajahnya putih bersih seperti bayi yang baru lahir.” terang Mba Neni.
            “Alhamdulillah…semoga khusnul khotimah. Aamiin.” sahutku dengan perasaan lega.
            Entah apa yang kupikirkan setelahnya, aku sering murung dan menitikkan air mata dalam keheningan karena perasaan rinduku pada beliau hingga terkadang tugas-tugasku di pondok terbengkalai, bahkan saat ujianpun entah apa yang kupikirkan, kefokusan itu melayang. Tapi aku yakin, beliau sudah tenang di sana, meskipun awalnya aku masih belum bisa menerima karena beliau belum sempat maju ke depan panggung khutbah ta’aruf di sekolahku untuk menerima penghargaan siswa berprestasi angkatanku dan belum melihat persembahan piala kebangganku sebagai juara lomba matematika, seperti yang beliau harapkan.
Alhamdulillah, kata itu yang harus sering aku ucapkan, aku harus bersyukur karena aku pernah memiliki bapak yang tidak akan tergantikan oleh siapapun, yang selalu memberiku nasihat saat gerakku keliru, senantiasa menginspirasiku setiap waktu dan memberiku kenangan yang tak pernah kulupakan.
I miss you so much, Dad.

Rabu, 20 September 2017

Raja Hatiku

Untaian kata tak mampu gambarkan dirimu
Luasnya samudera tak sanggup lukiskan perjuanganmu
Fenomena hidup bagaikan sahabat untukmu
Air mata kepedihan tak pernah membanjiri pelupuk matamu

Hanya kau yang mengerti kerasnya hidup
Namun tak terpancar lelah di wajahmu
Untukku kau ikhlas gadaikan jiwa ragamu
Relakan bahagiamu, demi seukir tawa di wajahku

Ayah...begitu ku memanggilmu
Ini aku...permata hati yang merindu nasihatmu
Nasihat yang biasa terdengar kala pagi menyambutku

Inilah kenyataan yang kini menyelimuti
Namamu harum semerbak namun ragamu tak disini
Aku percaya itulah pertemuan dengan Kekasih yang kau nanti
Nikmat itu disambut penduduk langit dan bumi
Do'a pun mengalir deras iringi perjumpaan ini

Ayah...
Ragamu pergi namun tentangmu tetap hidup di benakku
Waktu pun mengajariku tegar hadapi takdir-Mu
Aku bangkit tuk kembali mengurai jejakku

Terimakasih, Ayah... kaulah raja hatiku...


Ucapan terimakasih untuk sahabatku tercinta, Meyrina Ika Faradita, yang telah bersusah payah menyusun puisi indah ini untukku. Jazaakillaah khoiron katsiiron wa Baarakallaahu fiik. 😘

Selasa, 19 September 2017

Muhasabah

Langkah kaki mulai bertapak
Di bayang hidup nestapa
Beribu ronta kuteriakkan
Seberapakah dosaku Tuhan?
Malam terasa sunyi senyap
Aku terhampar di setiap jengkal sajadah yang terhampar
Bertemu dengan-Mu raga ini berubah menjadi pemalu
Tanya hatiku, seberat apa amalku?

-UNN. 19 Sept '17. Purbalingga-

Senin, 05 Juni 2017

Serumit Sebuah Simpul

Roda kuputar berlawan arah
Tak semudah yang kukira
Rasa itu tetap singgah
Meski masa telah berubah
Ahh...degup jantung itu tetap terdengar
Nafas itu masih menghampiri
Bayangan itu kian menepi
Memasuki alam bawah sadarku kini
Berjuta rasa lain kutanyakan
Mengapa satu rasa itu datang sedang lainnya menghilang?

Kutatap cermin berdebu
Jemariku mulai merabanya
Lusuh terasa seketika kutiup
Bayangan itu muncul dalam cermin kerinduan
Sesosok raja hatiku tampak merintih
Seulas kisah kita terekam kembali
Memori itu mengecam kembali
Saat hati ini menciut
Saat hati ini penuh penyesalan
Saat hati ini tak berdaya

Terulang kembali...
Seketika kafan membalut tubuh sang raja
Lisanku kelu ragaku kaku
Timbunan air mata mendesakku ingin keluar
Aku tak sanggup lagi merasakan semua itu
Ingin rasanya kugantikan tubuhnya dengan tubuhku
Agar simpul senyum itu terurai lagi
Agar belaian itu terasa lagi
Agar petuah itu terucap lagi

Kuawali takbirotul Ikhrom
Kuakhiri salam
Bisikan dzikir ini selalu ada
Setelah mata ini memandangnya
Wajah berseri tersenyum bak jiwa pemberani
Mengingatkanku dalam sebuah petuah bijak
"Hidupilah hidup, jangan mau diperbudak hidup"

-UNN 06.06.17-

Kejadian di atas terjadi 2 tahun silam, Sabtu, 13 Juni 2015. Puisi di atas kupersembahkan untuk Raja Hatiku yang kini telah tersenyum di alam keabadian. Semoga Allah selalu melindunginya. Jujur, aku selalu merindukannya.