Secarik foto itu masih terpampang jelas ketika aku membuka
Al-Qur’an hitam bermerek “Cordova” bergantungan “Hail to the Nature XII IPA”
milikku. Foto itu kembali mengingatkanku pada kejadian 13 Juni 2015 lalu, saat
aku harus menerima sebuah takdir yang sulit kucerna. Seseorang yang kusayangi
telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya. Aku merasa saat
itu duniaku seperti terjungkirbalik.
Pagi itu mentari
masih bersahabat denganku. Aku masih berjingkrak ria dengan kawan dan adik
kelasku dengan jimbas, istilah arab dari senam. Setelah rasa lelah yang
menggelayuti tubuhku, aku putuskan untuk tidur sejenak, menepis kelelahan.
Tiba-tiba, terasa sentuhan tangan membangunkanku. Aku pun kaget. Ternyata itu
Fina, temanku.
“Fah, bangun.
Kamu dipanggil ustadzah sekarang.” cetus Fina yang berkantung mata besar.
“Iya, makasih ya,
Fin.” ucapku seraya bergegas menuju kamar ustadzah di lantai 2.
“Assalamu’alaikum,
ustadzah. Ustadzah memanggil saya?” tanyaku sembari bertatap muka dengan
Ustadzah Latifah.
“Wa’alaikumussalam.
Iya, Ulfah. Begini, tadi ibumu telfon, mengabarkan bahwa bapakmu dalam keadaan
sakit. Jadi kamu harus pulang sekarang. Nanti, beberapa ustadz dan ustadzah
akan ikut menjenguk ke Purbalingga.” jawab ustadzah.
Mataku mulai
terbelalak, air matapun tak bisa kubendungi, memaksaku untuk mengeluarkannya.
Sempat terbesit tanya dalam pikiranku, “Sejak kapan bapak sakit-sakitan?”
Aku pun menuruni
tangga dengan perasaan bingung dan gelisah. Di depan kamarku yaitu kamar
pengurus atau OPPMA sebutannya, tampak ketiga temanku menyapaku dan bertanya
sebab sembabnya mataku.
“Hei Ulfah, kamu
kenapa? Gak biasanya matamu sembab gitu.” ledek Hana.
“Aku takut,
khawatir, bingung, gelisah. Pokoknya campur aduk perasaanku sekarang.” ketusku
menjawab ledekan Hana.
“Kenapa? Kenapa,
Fah?” tanya Fina dengan kepo-nya.
“Bapakku….” untuk
kesekian kalinya air mataku menetes lagi.
“Kenapa bapakmu?”
rasa penasaran Fina bertambah.
“Kata ustadzah
bapakku sakit, lalu sekarang aku harus pulang. Tapi anehnya kenapa ustadz dan
ustadzah juga ikut mengantarku? Kenapa juga harus dengan mobil pondok? Aku kan
bisa pulang sendiri naik bus. Ini yang membuat pikiranku semakin runyam.”
ucapku dengan nada sesenggukan karena tangisanku yang tak dapat kubendung lagi.
Tiba-tiba Yuni,
temanku, menyela, “Hah? Nakutin banget tuh. Jangan-jangan….”
“Husttt… jangan
begitu, Yun.” tegur Fina.
“Udah, Fah.
Sekarang positive thinking aja. Mungkin ada penyakit bapakmu yang belum
kamu ketahui sampai mengharuskan kamu untuk pulang.” ucap Hana menenangkanku.
“Tapi, bapak….”
belum sampai aku meneruskan kata-kataku, muncul ustadzah yang memintaku untuk
segera bersiap-siap.
Sebelum berangkat,
partnerku, Elsa, membantuku mengemasi beberapa baju untuk dibawa pulang ke
rumah. Setelah semua selesai dikemas, aku beranjak menuju parkiran mobil
sembari menunggu ustadz dan ustadzah yang masih bersiap-siap. Di dekatku
terdengar suara,
“Memang
meninggalnya jam berapa mba?” hatiku mulai gelisah tak karuan, tapi aku mencoba
selalu bepikir positif seperti yang dibilang Hana tadi di asrama.
Perjalanan dari
Temanggung menuju Purbalingga membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Tetapi, karena
terjebak kemacetan, membuat perjalanan semakin lambat. Akhirnya, kami transit
di sebuah rumah makan masakan padang di Kledung, Wonosobo. Hatiku mulai
tenang, entah kenapa porsi makanku tidak seperti biasanya, bisa dikatakan
sangat banyak.
Saat mendengar
percakapan ustadz dan ustadzah di dalam mobil, aku mulai terhibur, bisa
tertawa, melupakan kesedihanku. Tetapi, saat lagu tentang ayah diputar
berkali-kali, aku pun teringat kembali dengan sosok ayah. Apalagi setelah mobil
beberapa kali melewati pemakaman, aku selalu membayangkan yang tidak-tidak.
Untung aku duduk di kursi tengah pinggir kanan, sebelahku Ustadzah Ramini,
Ustadzah Latifah, dan Ustadzah Arti. Bangku depan diisi oleh Ustadz Wardhani
dan Ustadz Fadlil sebagai pengemudi. Sedangkan di belakang terisi Ustadz Naufal
yang duduk menyendiri.
Terdengar suara handphone
milik Ustadzah Ramini.
“Iya, Pak. Ini
kami sudah sampai di Banjarnegara. Tadi sempat terjebak kemacetan di Pasar
Kretek Wonosobo.”
Hatiku semakin tak
menentu. Rasa khawatir dan takut bercampur menjadi satu. Pikiranku semakin
menjadi-menjadi, entah kemana arahnya. Sekilas tampak bayangan bapak
menghampiriku dan tersenyum, kemudian pergi meninggalkanku dengan lambaian
tangannya.
***
Mobil melaju
melewati plang besar bertuliskan “Kabupaten Purbalingga”, setelah sekian lama merasa
penat karena perjalanan yang terbilang lumayan jauh ini, akhirnya aku bisa
berjumpa kembali dengan cakrawala nan permai ini, Purbalingga Perwira, kota
yang menjadi saksi sejarah kelahiranku 17 tahun silam.
Setir mobil masih
dikemudikan sesuai arahanku, karena akulah tour guide dalam perjalanan
mulai dari saat kami menjumpai plang perbatasan Banjarnegara-Purbalingga hingga
akhirnya sampai di rumahku.
Dag…dig…dig…jantungku
berdegup sangat kencang, tidak seperti biasanya. Tampak deretan mobil dan motor
memenuhi pinggir jalan depan gang rumahku. Tubuhku mendadak lemas ketika
kuterka bendera putih tertancap di depan gang rumahku. Pikiranku melayang entah
kemana. Sontak kubuka pintu mobil dengan hati gelisah bercampur aduk. Kulihat
om dan kakak iparku berlari mengarah ke mobil yang kutunggangi untuk
menjemputku. Seketika wajahku pucat pasi dan lemas tak berdaya.
“Mas, bapak
kenapa?” tangisku tak tertahankan.
“Udah, Fah. Sabar
ya. Jangan nangis, kasihan bapak. Bapak udah tenang disana.” ucap Mas Tekad
menenangkanku sembari menuntunku berjalan menuju rumah.
“Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raaji’un…Ya Allah, semoga khusnul khotimah.” ucapku
sesenggukan.
Dalam perjalanan
menuju rumah, tampak banyak orang yang berdatangan, termasuk teman-temanku
semasa SMP. Mulutku berucap tahlil tiada henti sampai akhirnya aku berjumpa
dengan ibu dan kakak perempuanku. Tubuhku tak luput dari pelukan ibu dan kakak
perempuanku.
“Ya Allah,
Bu…Bapak…Astaghfirullahal’adzim.”
“Sabar ya, sayang.
Bapak udah tenang disana, In Sya Allah. Jangan nangis, nanti bapak malah
sedih. Ulfah harus kuat dan tegar ya, inilah takdir yang udah digariskan oleh
Allah.” Sahut ibu dengan air matanya yang tertahan karena tak ingin terlihat
sedih.
“Bu, aku pengin
nyolatin bapak. Aku wudlu dulu ya.” Ibu memandangku dan menghapus air mataku.
Beliau menganggukan kepalanya, tanda mempersilahkanku.
Suasana begitu
haru ketika aku sholat di depan jenazah beliau, semua orang mengelilingiku.
Begitupun ketika aku selesai sholat, teman-teman dekatku saat SMP menghampiri.
“Ulfah sayang,
semua takdir Allah pasti baik. Sabar ya, bapakmu baik-baik saja disana. Pasti
ada hikmah di balik ini semua. Banyakin do’a untuk beliau.” kata Nindi.
“Iya, Fah. Kita
selalu ada di sampingmu kok buat support kamu. Semangat terus ya.” hibur
Erin.
Aku pun hanya
tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Aku berpikir tak sia-sia aku mempunyai
sahabat seperti mereka yang selalu ada dalam suka maupun duka, seperti saat
sekarang ini.
Jenazah bapak
dibawa menuju pelataran rumah. Tampak banyak orang sudah berkerumun menunggu
upacara pemakaman. Sepatah kata dilontarkan oleh ketua ta’mir Masjid Agung
Darussalaam Purbalingga karena saat itu bapak masih menjabat sebagai wakil
ketua ta’mir Masjid Agung. Kulihat para ‘alim ulama’ juga berada di
kerumunan itu.
Sebelum meninggal
dunia, bapak terkenal sebagai tokoh agama dan guru yang kritis. Beliau mengisi
pengajian ba’da maghrib pada malam Ahad di Masjid Agung. Tak hanya disitu,
setiap harinya waktunya dipadati dengan mengisi pengajian di beberapa masjid.
Beliau pun mengajar di SMP Negeri 1 Kemangkon sebagai guru PAI (Pendidikan Agama
Islam) dan ketika itu beliau masih menjabat sebagai ketua MGMP (Musyawarah Guru
Mata Pelajaran) PAI Kabupaten Purbalingga, jadi tidak heran jika beliau
disegani dan banyak yang melayat ketika beliau wafat.
Jenazah
dikebumikan di TPU Arsantaka tepat di belakang rumahku. Jadi, setiap saat aku
bisa melihat makam beliau ketika rindu datang dengan tiba-tiba. Tetapi kali ini
aku tak bisa mengikuti prosesi pemakaman beliau dikarenakan dua hal yang masih
menjadi tanggungjawabku, yaitu karena aku belum menunaikan sholat ashar dan
belum kutemui ustadz dan ustadzah.”
“Ibu, nanti kalua
ada ustadz dan ustadzah, bilang suruh nunggu Ulfah sebentar ya. Aku mau sholat
ashar dulu.” ucapku pada ibu yang ketika itu sedang berbincang-bincang dengan
beberapa tamu.
“Iya, Nak. Udah
sana, dah jam setengah lima, udah telat banget, ayo.” sahut ibu dengan raut
muka yang masih menyimpan kesedihannya.
Ketika aku selesai
sholat, ternyata ustadz dan ustadzah menungguku bersama ibu di ruang tamu.
“Mohon maaf, Ibu.
Sebelumnya, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kami selaku
perwakilan dari PM Assalaam Temanggung turut berbela sungkawa atas meninggalnya
bapak dari Ananda Ulfah. Semoga diterima amal perbuatannya dan khusnul
khotimah. Kami berharap Ananda Ulfah dapat melanjutkan kembali sekolah di
Assalaam.” jelas Ustadz Wardhani.
“Saya
berterimakasih sekali sudah mengantarkan anak saya ini pulang ke rumah. In
Syaa Allah anak saya masih bersekolah di sana. Aamiin.” jawab ibu
dengan tenang.
Perbincangan yang
lama telah usai, kini ustadz dan ustadzah berpamitan untuk kembali ke pondok,
karena keesokan harinya akan ada agenda rihlah dari OPPMA (Organisasi
Pelajar Pondok Modern Assalaam) angkatanku, termasuk aku di dalamnya sebagai
salah satu panitianya. Lubuk hati paling dalamku seakan mengadu bahwa ada
sedikit rasa penyesalan karena aku tidak bisa mengikuti agenda rihlah itu.
Akan tetapi, aku tidak dapat menyalahi takdir yang sulit kuterima ini.
***
Sejujurnya, aku
belum tahu bagaimana dan sebab meninggalnya bapak. Lalu, aku tanyakan hal ini
pada kakak perempuanku.
“Mba, bapak
meninggalnya kenapa?” tanyaku pada Mba Neni yang tengah duduk santai di teras
rumah.
“Gini, kamu tahu
kan kalau bapak itu nggak punya riwayat penyakit dalam?” jawab Mba Neni.
“Iya, Mba, terus
kenapa?” tanyaku penasaran.
“Bapak memang
nggak sakit, beliau hanya pusing saja. Saat sholat subuh, beliau masih jadi
imam di mushola, masih sarapan berdua sama ibu. Ketika beliau mau berangkat ke
sekolah, tiba-tiba beliau merasa pusing, lalu dipijat ibu sampai bapak
tertidur. Setelah kira-kira satu jam berlalu, ibu membangunkan bapak, tapi
beliau tidak terbangun. Ibu yang biasa menangani orang sakaratul maut akhirnya
memeriksa denyut jantung dan nafas bapak. Masih terasa semua. Akhirnya ibu
memanggil Mas Anto tetangga kita untuk membawa bapak ke rumah sakit. Di sana
bapak masih belum sadar. Tetapi, ketika ibu keluar dari ruangan bapak untuk
menghubungi mba dan Mas Awal, bapak telah tiada. Kata Mas Anto, ketika bapak
menghembuskan nafas terakhirnya beliau sempat tersenyum sebanyak dua kali dan
wajahnya putih bersih seperti bayi yang baru lahir.” terang Mba Neni.
“Alhamdulillah…semoga
khusnul khotimah. Aamiin.” sahutku dengan perasaan lega.
Entah apa yang
kupikirkan setelahnya, aku sering murung dan menitikkan air mata dalam
keheningan karena perasaan rinduku pada beliau hingga terkadang tugas-tugasku
di pondok terbengkalai, bahkan saat ujianpun entah apa yang kupikirkan, kefokusan
itu melayang. Tapi aku yakin, beliau sudah tenang di sana, meskipun awalnya aku
masih belum bisa menerima karena beliau belum sempat maju ke depan panggung khutbah
ta’aruf di sekolahku untuk menerima penghargaan siswa berprestasi
angkatanku dan belum melihat persembahan piala kebangganku sebagai juara lomba
matematika, seperti yang beliau harapkan.
Alhamdulillah, kata itu yang harus
sering aku ucapkan, aku harus bersyukur karena aku pernah memiliki bapak yang
tidak akan tergantikan oleh siapapun, yang selalu memberiku nasihat saat gerakku
keliru, senantiasa menginspirasiku setiap waktu dan memberiku kenangan yang tak
pernah kulupakan.
I miss you so much, Dad.